Mengapa mengumumkan kalau perusahaan Anda tidak ada PHK di tengah isu Covid19 adalah campaign PR yang kurang bijaksana.

Beberapa hari belakangan, saya melihat ada perusahaan-perusahaan yang mengeluarkan statement terbuka kalau mereka tidak akan melakukan PHK. Ini disampaikan dalam bentuk artikel advertorial ataupun status sosial media oleh C-Level perusahaan-perusahaan tersebut. Hal ini sah-sah saja sebagai PR campaign; ditengah 74,430 perusahaan di Indonesia harus melakukan PHK, ada yang mengumumkan kalau mereka tidak melakukan PHK. Tapi saya pribadi, melihat ini hal yang kurang bijaksana, mengapa?

Sampai hari ini, Kemenaker mencatat ada sekitar 1,2 juta rakyat Indonesia, yang sejak kasus Covid19 mengharuskan orang untuk berdiam di rumah, terkena PHK. Data ini mengerikan, gerakan tetap di rumah relatif baru di Indonesia, namun gelombang PHK sudah sangat besar. Ketua Gabungan Perusahaan Eksportir Indonesia (GPEI) mengatakan keterlaluan kalau ada pengusaha yang langsung mem PHK karyawan padahal WFH karena Covid19 ini berjalan belum lama. Benarkah demikan?

Saya yakin semua pengusaha sepakat kalau bisnis mereka tidak akan jalan, kalau tidak ada karyawan. Kecuali Anda bergerak di industri yang 100% usahanya dikendalikan mesin dan AI, Anda pasti membutuhkan karyawan. Belum lagi perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang jasa dan kreatifitas, kualitas karyawan menjadi sangat penting. Perusahaan saya mencari seseorang untuk mengisi satu posisi bisa berbulan-bulan baru dapat yang pas. Jadi terpaksa melepas karyawan karena bisnis sedang tidak bagus bukan hal yang menyenangkan.

Kecuali Anda bergerak di industri yang 100% usahanya dikendalikan mesin dan AI, Anda pasti membutuhkan karyawan.

Saat ini, di mana ada karyawan yang mungkin merasa khawatir mereka akan di lay-off, isu PHK menjadi hal yang sangat sensitif, ini urusan perut. Perusahaan yang bertepuk dada mengatakan mereka tidak akan mem PHK karyawan mungkin akan dapat citra positif, namun dengan tumbal citra perusahaan yang terpaksa me lay-off karyawan menjadi semakin buruk, dan citra yang buruk ini bisa berdampak kepada karyawan yang tersisa tidak bisa bekerja secara maksimal. Padahal, seperti yang saya bahas di paragraf atas, belum tentu perusahaan tersebut senang ketika mereka harus kehilangan karyawan. Ini bisa membuat pengusaha yang terpaksa me lay-off dan karyawan yang terkena semakin sedih. 

Di saat kondisi krisis, lumrah kalau performance setiap perusahaan akan berbeda. Kalau ada Media Publishing Digital mengumumkan bahwa mereka tidak ada PHK, ini sangat wajar karena industri mereka tidak berpengaruh banyak terhadap isu WFH. Karyawannya terbiasa bekerja remote, konsumennya juga membaca berita melalui media digital, jadi tidak terlalu berdampak dengan WFH. Justru mereka seharusnya malah naik trafficnya karena semua orang jadi membaca berita. Lalu kalau ada perusahaan lain yang bergerak di bidang travel dan leisure terpaksa mem PHK karyawan, apakah artinya perusahaan yang kedua lebih buruk dari perusahaan yang pertama? Padahal kita tahu sejak isu Covid19 merebak perjalanan traveling terpaksa dibatalkan, tiket-tiket dikembalikan dan konsumen menuntut uang mereka kembali. Ini berdampak fatal terhadap cashflow perusahaan travel dan leisure dan berujung pada pengurangan karyawan. 

Diagram di bawah menunjukkan bahwa kita sedang menghadapi “the new normal”, perusahaan di industri traveling yang tahun lalu sangat pesat tiba-tiba hari ini langsung terpuruk ke posisi paling bawah. Jadi wajar kalau ada perusahaan publisher digital yang lebih bertahan dibandingkan perusahaan travel dan leisure.

Contoh lain dari industri advertising. Bisa jadi, walaupun sama-sama agency advertising, Agency A yang backbone kliennya dari Travel & Leisure akan lebih ringkih terhadap keadaan ini dibandingkan agency B yang backbone kliennya dari Healthcare. Bisa jadi Agency A terpaksa melakukan lay-off karena klien mereka juga terpuruk, sehingga membatalkan semua kontrak. Tidak ada kontrak ya tidak ada bisnis.

Sedangkan Agency B yang kliennya bergerak di bidang Healtcare omset nya malah meningkat pesat sehingga justru mereka butuh tambahan karyawan. Kalau keadaan seperti ini apakah Agency B harus berkoar-koar mengumumkan bahwa mereka tidak akan ada lay-off? You get the point, lah.

Lalu, apa yang perusahaan harus lakukan kalau mereka ingin memanfaatkan isu Covid19 ini sebagai good PR? Jawabannya banyak, misalnya dengan melakukan tindakan nyata dengan memberikan bantuan kepada orang-orang yang terkena dampaknya; memberikan masker, sembako atau uang kepada korban PHK. Bahkan, kalau memungkinkan, Anda bisa merekrut orang-orang yang terkena lay-off, ini tentu lebih bijaksana dan berdampak positif yang nyata.

feature image milik BBC Indonesia https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-52218475

Tagged with: